Kamis, 23 Juli 2009

Anak jalanan. Realita dan impian





Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Tuh kalimat sering banget ditanyain ma guru gw di SD berpuluh puluh (baca : beberapa ) tahun yang lalu. Pasal 34 Undang Undang Dasar Negara republic Indonesia ( bacanya Endonesia ) Tahun 1945. Kata guru gw dulu bacanya harus lengkap, ga boleh disingkat singkat. Ga tau sekarang udah berubah apa belon.

Entah tiba tiba kata kata itu tiba tiba muncul di kamar kosan gw tadi pagi. Gara gara iklan di Global TV soal acara Indonesia Kids Choice Award 2009 malem ini. Loh… nyambungnya kemana ya….

Gara gara itu gw jadi inget beberapa hari sebelumnya saat gw -lagi lagi- naek KRL ekonomi Jabotabek, ( dan hari2 sebelumnya juga ) jam setengah 2 dari pondok ranji ke manggarai… Selepas Stasiun Tanah Abang, menurut statistic, isi kereta itu hanya 53% laki laki, 47 % perempuan ( yang banci gw masukin laki laki, biar ga ribed ). 10 orang kondektur yang sok galak, sedikit masinis, satu orang ganteng, beberapa pedagang. Dan yang mengenaskan adalah isinya 40 % penumpang dan 60% anak jalanan. ( persentase anak jalanannya mungkin lebih ). Wow....

Yang jadi pikiran gw, anak jalanan termasuk anak terlantar ga siy…? Kembali ke pokok utama. Miris bgt ngeliat mereka berkeliaran di kereta, dengan pakaian yang ga layak, tampang acak acakan, dan banyak yang ga pake sandal. Apalagi sepatu…
Beberapa orang tidak mempedulikan anak-anak ini, tetapi ada juga penumpang yang merogoh kantong memberi uang. Uang yang memang sudah dipersiapkan untuk keperluan seperti ini, ataupun keperluan lain juga.

Di luar sana, terlihat dari dalam kereta api, beberapa orang anak, memakai pakaian, putih hijau, seragam khas sebuah sekolah dasar ternama di kota ini, sedang bercanda berlari lari membawa tas punggung yang terlihat kebesaran. Pakaian mereka bagus, wajah mereka bersih. Ingin rasanya membandingkan mereka yang diluar dengan yang di dalam kereta ini. Satu hal yang kusayangkan. Presiden tidak naik kereta ini. Kalaupun presiden naik kereta ini, pastilah mereka sudah diusir terlebih dahulu oleh para ajudan Sang Presiden.

Masih di wilayah yang sama, hanya beberapa kilometer dari lokasi pertama. Siang itu pemandangan di pertigaan Gellael Tebet, tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Pemandangan ketika lampu lalu lintas menyala merah. Pemandangan ketika anak-anak jalanan berhamburan menghampiri orang-orang yang terpaksa berhenti. Pemandangan ketika anak-anak menjulurkan tangan -- sebagian sambil mengelus-elus perut, sebuah ungkapan yang menggantikan kalimat "aku lapar". Pemandangan ketika seorang ibu ikut menjulurkan tangan kanannya, sementara tangan kiri menahan kain yang menutupi tubuh bayinya -- sebuah ungkapan kasih naluriah seorang ibu yang sedang melindungi bayinya dari panas terik matahari.

Begitu lampu hijau menyala, anak-anak ini menyingkir; ibu dengan bayinya juga ikut menyingkir. Sebagian naik ke jalur hijau, sebagian lagi kembali ke pinggir jalan, menunggu lampu merah menyala kembali. Para pengendara yang sudah memberi uang receh maupun yang tidak punya kepedulian juga melanjutkan perjalanannya. Begitu seterusnya…

Gw teringat enam – tujuh taun yang lalu, saat gw masih aktif mengajar anak jalan di sebuah rumah singgah di Bilangan Jakarta Timur. Betapa mereka sangat serius untuk belajar dan ingin tahu akan banyak hal. Cita cita mereka semua sangat mulia,
Seorang anak ingin menjadi dokter yang mengabdikan hidupnya utk orang miskin, yang lainnya bercerita kalo ia ingin jadi bisnisman sukses. ada pula yang ingin jadiu guru. Menyenangkan bgt waktu itu. Namun, ketika tuntutan hidup dan realita akan hidup yang keras, ditambah kenyataan membuat mereka realistis. Daripada sekolah mending nyari uang. Apakah Negara ini ga peduli sama mereka? Apakah mereka ga boleh pinter? Hanya segelintir orang yang peduli> Salut untuk Bang Iwan Fals, lewat lagunya..

Si Budi kecil kuyup menggigil
Menahan dingin tanpa jas hujan
Di simpang jalan tugu pancoran
Tunggu pembeli jajakan koran

Menjelang maghrib hujan tak reda
Si Budi murung menghitung laba
Surat kabar sore dijual malam
Selepas isya melangkah pulang

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepang

Cepat langkah waktu pagi menunggu
Si Budi sibuk siapkan buku
Tugas dari sekolah selesai setengah
Sanggupkah si Budi diam di dua sisi

( Iwan Fals ; Sore Tugu Pancoran )

Selamat Hari anak nasional, 23 Juli

Tidak ada komentar: