Kamis, 20 Agustus 2009

Namanya Mbok Tin..

Nama lengkapnya Sutini, tapi orang orang lebih sering memanggilnya mbok tin. Seorang wanita paruh baya penjual makanan sarapan pagi di jalan malioboro, Jogjakarta. Tak seberapa jauh dari Malioboro Mall. Bukan siapa siapa. Bukan Presiden, bukan menteri, bukan aparat negara, bukan pengusaha. Beliau hanyalah seorang pedagang, dari ribuan pedagang yg mengais rizki di jalan paling terkenal di Jogja. Beliau hanyalah satu dari berjuta penduduk Jogja, dan hanya satu dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia.

Wanita gigih ini mempunyai 5 orang anak, 4 dari mereka telah berkeluarga, dan 9 orang cucu. Dmana anakny yg bungsu yg bru mau masuk smp, lebih muda dibanding cucu pertamanya. Suami beliau telah meninggal 5 tahun lalu. Sehingga tinggallah beliau hidup bersama anak bungsunya. Sepulang berjualan di Malioboro, beliau masih bekerja membuat anyaman bambu. Penghasilannya sehari hari hanya cukup untuk makan beliau dan anak bungsunya plus sedikit untuk biaya sekolah anaknya. Beliau sangat bersyukur krn sekolah skrg sudah gratis, mengingat biaya hidup yg semakin tinggi. Beliau orang yg taat beragama. Selalu berusaha menyempatkan sholat 5 waktu tepat waktu...

Lalu apa yg membuatny menjadi luar biasa di mata saya?

Kejadiannya bermula ketika saya sarapan nasi gudeg di tempat beliau berjualan... Awalny kami tidak saling bertegur sapa karena beliau sedang sibuk melayani pembeli lain. namun saat sedang tidak sibuk, sy mencoba mengajaknya mengobrol. Selalu menyenangkan. Krn sy tau, sy akan dapat bnyk hal dari beliau..

Dan, seperti lumrahnya pembeli, selesai makan, sy pun membyrnya.. Tidak ada sesuatu yg spesial sampai sy mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkanny untuk berjalan jalan di malioboro. Saat sy sedang membeli pulsa, tak jauh dr tempatny berjualan, sy melihat beliau berlari menuju saya, tanpa alas kaki..

"Nak, niki hape ne tertinggal tadi"ujar beliau.

Subhanallah, seketika itu sy menangis dan langsung mencium tangannya

Minggu, 16 Agustus 2009

Melihat Sisi Lain Jakarta







Ada satu pemandangan menarik, yang selalu membuat saya miris, tatkala menaiki kereta penumpang lokal membelah ibukota, DKI Jakarta. Saya pun sangat menyadari, bahwa pemandangan itu pasti akan diperlihatkan oleh sang jakarta kepada saya. Tak peduli saya berbalut Kereta Ekspress, ekonomi lokal, KRL ekonomi, atau bahkan saat saya berdinding kabin masinis.

Kali ini saya menyusuri jakarta menggunakan Kereta ekonomi lokal rangkas, dari Stasiun Pondok Ranji sampai ke Stasiun Kemayoran. Beranjak dari Stasiun Pondok Ranji kurang lebih pukul 14.40. Terakhir saya naek kereta api sejenis, kira kira 5 tahun lalu, 2004. Tetapi tidak ingat tanggal persisnya.

Ternyata sudah banyak berubah, interior kereta sudah dibenahi, kursi kursi sudah berganti. Sehingga seperti kursi Kopaja. Dengan komposisi kursi dengan lebar yang sama, baik di sisi kanan maupun kiri kereta. Terlihat lebih lapang dibanding lima tahun yang lalu. Kursi kursi itu dibuat tanpa nomor, dan secara logika, dibuat untuk, masing masing diduduki oleh dua orang. Namun, pada kenyataan nya, banyak yang diduduki oleh tiga orang.

Hampir disepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan yang miris. Bangunan bangunan di sepanjang tepi jalur kereta api, -entah bangunan liar atau bangunan jinak-
, berbaris tidak rapi dan tidak layak huni. Amat sangat tidak layak huni. Semakin ironis saat saya melihat lebih jauh, dimana dibalik bangunan bangunan tersebut, berjajar dengan sangat rapi, bangunan bangunan permanen yang terlihat sangat kokoh. Dan banyak diantaranya terlihat mewah.
Inilah potret Jakarta sesungguhnya. Bukan hanya di Gedung MPR/DPR. Bukan hanya di Monas. Bukan di Istana Negara, Bukan hanya di Jalan jalan protokol yang selalu menawarkan kemacetan, yang di sekelilingnya terdapat Gedung gedung bertingkat tingkat yang mencakar langit Jakarta.

Saat sang ular besi akan memasuki stasiun Kampung Bandan, pemandangan terlihat jauh lebih mengenaskan. Tak ingin saya menuliskannya disini, Karena itu hanya akan membuat para pejuang pejuang Bangsa ini semakin menangis. Pejuang yang telah mengorbankan apapun demi Kemerdekaan bangsa ini.

Sesaat saya mengalihkan pandangan ke dalam kereta. Ah lagi lagi pemandangannya membuat saya mengerutkan dahi. Inikah Indonesia saya yang katanya sudah Merdeka.. Inikah Jakarta saya yang katanya Kota Megapolitan. Pedagang asongan yang tak berhenti bergerak. Mengayunkan kakinya menyusuri sepanjang sepuluh gerbong dalam rangkaian kereta ini. Berpeluh mulai dari pagi pagi buta hingga malam mendekat. hanya untuk mencari uang untuk dirinya dan keluarganya. Mungkin hanya sebatas "asalkan cukup untuk makan besok". Yang jumlahnya terkadang masih dibawah makan malam saya.. Fiuh....ingin rasanya saya menangis..

Inilah potret Jakarta sesungguhnya. Atau jakarta mayoritas. Inilah indonesiaku yang hari esok genap berusia 64 tahun. Inilah Angkutan umum kelas rakyat yang sesungguhnya. Ingin saya mengucapkan terima kasih yang amat sangat kepada PT Kereta Api Indonesia yang telah menyediakan hatinya untuk mengadakan angkutan murah meriah seperti ini. Bayangkan, hanya dengan seribu lima ratus rupiah saja. Lebih murah dari parkir sebuah mobil selama 5 menit saja.

Dan..akhirnya tepat pukul 15.35, kereta berhenti di stasiun Kemayoran, saatnya meninggalkan angkutan ini dengan senyum. Dirgahayu PT KAI, Dirgahayu Indonesiaku

Selasa, 04 Agustus 2009

Karena malam tidaklah kelam

Cerita tentang malam tak selamanya kelam.

Karena malam tak melulu hitam.

Lihat..

Bintang yang berjajar jajar

Cahaya yang berkejar kejar

Damar damar berkibar

Dalam sabar.

Resapkan

Dalam ingatan

Cerita lalu yg telah usang

Semakin usang setelah petang

Petang berlalu tersingkap terang

terang malam

karena malam tidaklah kelam

(inspirasi dari taman ponjay. 21.30wib)

Sabtu, 01 Agustus 2009

Tanyakan pada langit dan bumi

Ada bayang yang tak pernah pergi
Ada tawa yang terekam dalam ingat
Ada nama yang selalu mendiami
Pada hati…bangkitkan semangat diri
Meretas jiwa tuk lalui hari hari

Ada keyakinan yang tak ternilai
Dalam Jutaan penantian yang tak terurai
Meninggalkan sepenggal kelam terlalui
Tanpa daya layaknya angsana yang jatuh, helai demi helai

Hening....

Dan, sang jingga terlihat kembali
Bergelayut dalam fatamorgana
Berlari di ujung serpihan retakan kaca
Bergumam bersama hujan
Semu.

Sengaja kubisikkan kalimat cinta untukmu walau hanya sesaat
sebuah harapan, berdengung sepanjang masa dijiwamu
Sengaja kutulis bait indah ini hanya untukmu
Agar kamu menyimpannya
Dalam sadar atau tanpa sadar.

tanyakan pada langit dan bumi
mereka pun tahu
Aku mencintaimu