Minggu, 16 Agustus 2009

Melihat Sisi Lain Jakarta







Ada satu pemandangan menarik, yang selalu membuat saya miris, tatkala menaiki kereta penumpang lokal membelah ibukota, DKI Jakarta. Saya pun sangat menyadari, bahwa pemandangan itu pasti akan diperlihatkan oleh sang jakarta kepada saya. Tak peduli saya berbalut Kereta Ekspress, ekonomi lokal, KRL ekonomi, atau bahkan saat saya berdinding kabin masinis.

Kali ini saya menyusuri jakarta menggunakan Kereta ekonomi lokal rangkas, dari Stasiun Pondok Ranji sampai ke Stasiun Kemayoran. Beranjak dari Stasiun Pondok Ranji kurang lebih pukul 14.40. Terakhir saya naek kereta api sejenis, kira kira 5 tahun lalu, 2004. Tetapi tidak ingat tanggal persisnya.

Ternyata sudah banyak berubah, interior kereta sudah dibenahi, kursi kursi sudah berganti. Sehingga seperti kursi Kopaja. Dengan komposisi kursi dengan lebar yang sama, baik di sisi kanan maupun kiri kereta. Terlihat lebih lapang dibanding lima tahun yang lalu. Kursi kursi itu dibuat tanpa nomor, dan secara logika, dibuat untuk, masing masing diduduki oleh dua orang. Namun, pada kenyataan nya, banyak yang diduduki oleh tiga orang.

Hampir disepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan yang miris. Bangunan bangunan di sepanjang tepi jalur kereta api, -entah bangunan liar atau bangunan jinak-
, berbaris tidak rapi dan tidak layak huni. Amat sangat tidak layak huni. Semakin ironis saat saya melihat lebih jauh, dimana dibalik bangunan bangunan tersebut, berjajar dengan sangat rapi, bangunan bangunan permanen yang terlihat sangat kokoh. Dan banyak diantaranya terlihat mewah.
Inilah potret Jakarta sesungguhnya. Bukan hanya di Gedung MPR/DPR. Bukan hanya di Monas. Bukan di Istana Negara, Bukan hanya di Jalan jalan protokol yang selalu menawarkan kemacetan, yang di sekelilingnya terdapat Gedung gedung bertingkat tingkat yang mencakar langit Jakarta.

Saat sang ular besi akan memasuki stasiun Kampung Bandan, pemandangan terlihat jauh lebih mengenaskan. Tak ingin saya menuliskannya disini, Karena itu hanya akan membuat para pejuang pejuang Bangsa ini semakin menangis. Pejuang yang telah mengorbankan apapun demi Kemerdekaan bangsa ini.

Sesaat saya mengalihkan pandangan ke dalam kereta. Ah lagi lagi pemandangannya membuat saya mengerutkan dahi. Inikah Indonesia saya yang katanya sudah Merdeka.. Inikah Jakarta saya yang katanya Kota Megapolitan. Pedagang asongan yang tak berhenti bergerak. Mengayunkan kakinya menyusuri sepanjang sepuluh gerbong dalam rangkaian kereta ini. Berpeluh mulai dari pagi pagi buta hingga malam mendekat. hanya untuk mencari uang untuk dirinya dan keluarganya. Mungkin hanya sebatas "asalkan cukup untuk makan besok". Yang jumlahnya terkadang masih dibawah makan malam saya.. Fiuh....ingin rasanya saya menangis..

Inilah potret Jakarta sesungguhnya. Atau jakarta mayoritas. Inilah indonesiaku yang hari esok genap berusia 64 tahun. Inilah Angkutan umum kelas rakyat yang sesungguhnya. Ingin saya mengucapkan terima kasih yang amat sangat kepada PT Kereta Api Indonesia yang telah menyediakan hatinya untuk mengadakan angkutan murah meriah seperti ini. Bayangkan, hanya dengan seribu lima ratus rupiah saja. Lebih murah dari parkir sebuah mobil selama 5 menit saja.

Dan..akhirnya tepat pukul 15.35, kereta berhenti di stasiun Kemayoran, saatnya meninggalkan angkutan ini dengan senyum. Dirgahayu PT KAI, Dirgahayu Indonesiaku

Tidak ada komentar: