Rabu, 17 Februari 2010

Hujan Mengingatkan Saya....


 

Hujan mengajarkan saya tentang rasa syukur. Hujan adalah rangkaian eksotisme langit untuk buminya, untuk alam semesta. Tetesan air yang menyejukkan, membawa  khidmat yang tanpa celah mengalir ke setiap sudut bumi yang memandang langsung langitnya. Membawa tetesan air yang bermuara di aliran yang nantinya akan kembali. Sebuah siklus yang terlalu rumit untuk dipahami oleh logika insani.

Jakarta. Hujan setiap tahunnya terkadang menimbulkan kecemasan yang bermuara pada ketakutan dan kelelahan jiwa jiwa yang mendiaminya. Sudut sudut kota, ataupun pusat peradaban. Jalan jalan beraspal lorong lorong yang sempit, tepian sungai, pertokoan, kantor kantor, perumahan. Terbasahi olehnya.

Dan saya menikmati hujan kala itu. Bermain dengan rinai rintiknya yang mengalir dengan kemiringan relatif, bersinergi dengan angin berkecepatan rendah. Membasahii muka bum dan seisinya. Termasuk saya di dalamnya. Saat banyak manusia menghindarinya, aku berdiam diri. Mematung merasakan alirannnya membasahi seluruh bagian tubuhku. Memejamkan mata meresapi dinginnya karunia Tuhanku ini. Terasa sejuk dan menentramkan jiwa.

Saat saya kembali membuka mata, jalan jalan itu temapak penuh dengan rumput rumput kristal yang indah. Hilang, dan kemudian muncul lagi. Hilang, muncul lagi. Begitu seterusnya. Sebuah siklus yang sangat cepat.

Bau aspal yang basah. Ini aneh, saya selalu tertarik akannya. Karena menurut saya, bau ini tercium oleh indera untuk kemudian mengalir ke dalam jiwa saya. Sejuk. Bau ini selalu mengingatkan saya akan sebuah masa kecil yang telah terlewati dengan baik. Saat bermain dalam hujan di lapangan semen dan tepi jalan. Saat beban beban yang menggunung ini tak pernah ada di masa itu hati yang terkadang tak tenang tak pernah terjadi kala itu. Masa masa yang penuh dengan kegembiraan.

Namun bayangan masa kecil itu sangat tampak nyata sekarang, saat melihat beberpaka sosok kecil itu bermain main dalam hujan. Menghampiriku seolah ingin menemaniku. Tapi… tidak, mereka tidak bermain. Mereka memang ingin menghampiri saya dan menemani saya. Tapi tidak untuk bermain. Sekali lagi saya jelaskan, tidak untuk bermain. Mereka berlarian membawa paying paying berbagai ukuran dan corak karena mengharapkan imbalan. Mereka mencoba membantu saya berlindung dari tetesan hujan ini. Mereka bekerja. Anak anak kecil itu bekerja.

Ah, saya miris. Mereka tak punya waktu untuk bermain, bahkan saat hujan menghampiri sekalipun. Saya kecil sungguh beruntung waktu itu. Bermain hujan, bersenandung bersenda gurau. Mereka seusia saya, belasan tahun lalu. Ah, saya miris.

Sejatinya mereka memang bermain dalam hujan. Namun sesungguhnya mereka lebih mulia dari aya. Mencari uang, untuk keluarganya. Mereka tidak mengemis, memohon belas kasihan seperti yang dilakukan orang orang sehat di sudut Jakarta yang lain. Mereka bekerja. Sesuatu yang tak bisa saya lakukan saat umur saya ekuivalen dengan mereka. Bahkan melintas dalam benakpun tidak.  

Seribu rupiah. Tarif tak resmi yang mereka terima dari orang orang yang menbggunakan jasa mereka. Beberapa konsumen memberi lebih.  Janganlah pernah memperhitungkan untung atau rugi saat memberikan uang kecil yang kita punya, karena bukan itu esensi sesungguhnya. Namun lebih kepada, dengan memberikan mereka uang yang terkadang terbuang oleh kita, maka kita bisa membuat satu generasi penerus bisa terus bersekolah, dan satu keluarga bisa bertahan hidup, terhindar dari kelaparan, salah satu ketakutan terbesar dalam hidup manusia.