Selasa, 27 Juli 2010

Reklamasi Teluk Jakarta. Salah atau Salah banget??


Kenyataan ini berasal dari satu sisi utara-barat Jakarta, yang akhir akhir ini sering saya kunjungi. Nama resminya Muara Angke, lebih tepatnya kawasan pemukiman nelayan Muara Angke. Sebuah gerbang berkelir hijau menyambut saya dengan tenang saat memasuki kawasan ini. Awalnya bau menyengat ini sangat menyebalkan, namun setelah 2 - 3 kali bau ini menjadi sesuatu yang biasa untuk saya. Yup bau amis ikan yang menyengat.


Dari sini semua bersumber, dari sini semua berasal. Ikan dan hewan laut yang dikosumsi sehari hari berasal dari sini. Muara Angke. Adalah salah satu dari empat pemukiman nelayan yang tersisa di Jakarta, selain Cilincing, Marunda, dan Muara Baru. Namun seiring dengan semakin kapitalisnya negeri ini, beberapa dimensi waktu yang lalu, Pemerintah DKI Jakarta berencana mereklamasi Pantai Utara Jakarta. Reklamasi yang dimaksud adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan laut di bagian perairan laut Jakarta. Sehingga nantinya daratan Jakarta akan bertambah luas dan panjang, yang rencananya akan dilakukan sepanjang 30 km sepanjang pantai utara dengan lebar 1,5 hingga dua km menuju laut.

Banyak dampak buruk dari reklamasi tersebut, dan satu hal yang menjadi sorotan aya adalah bakal termarjinalisasinya berjuta penduduk di Jakarta, terutama para nelayan, yang terancam kehilangan pekerjaan mereka.

Reklamasi Pantura akan menggusur 25.000 KK (125.000 jiwa) nelayan di sepanjang pesisir pantura yang sebenarnya saat ini sudah hidup dalam kemiskinan. Penggusuran ini dilakukan karena kawasan elit membutuhkan pemandangan yang juga elit di bibir pantai yang selama ini ditempati nelayan, dan kawasan indah ini juga menuntut laut di sekitarnya bersih dari bagang-bagang (perangkap ikan) nelayan. Penggusuran ini adalah pelanggaran HAM berat karena menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin. Ratusan ribu anak nelayan akan putus sekolah, ratusan ribu balita akan tidak terjamin kesehatannya, dan ratusan ribu orang tua bingung mencari pekerjaan lain. Pelanggaran HAM dapat dihukum berat karena melanggar UUD 1945,

Kawasan hasil reklamasi diprediksi akan ditempati oleh 16 juta orang, yang pasti membutuhkan air bersih yang sangat banyak. Padahal, air di Jakarta dan sekitarnya telah mengalami kekeringan secara permanen, karena lahan dan vegetasi di wilayah resapan mengalami degradasi, baik dalam luas maupun kualitas. Cadangan air bersih yang ada, telah terkontaminasi oleh limbah (Fe, Mg, Coli tinja, Amonia, zat padat terlarut, logam berat kadmium, timbal dan nikel). Saat ini, PDAM DKI Jakarta sudah kualahan menyediakan air bersih sekitar 5.132.425 jiwa, bagaimana jika ada penambahan konsumen?

Pengambilan bahan urug untuk reklamasi akan menghancurkan ekosistem kawasan penyangga Jakarta, karena dibutuhkan 330 juta m3 bahan urug dari darat dan laut. Dari laut akan diambil pasir dari Kepulauan Seribu (Pulau Tanjung Burung, Pulau Burung, Tanjung Kait, Tanjung Pontang, Pantai Cemara, Pasir Putih). Sedangkan bahan urug dari luar Jakarta akan mengambil dari Pantai Utara Banten, Pantai Barat Jabar dan Pantai Utara Jawa Barat Bagian Timur dan pasir bekas lerusan gunung Krakatau Lampung. Padahal daerah-daerah ini merupakan kawasan konservasi dan kawasan pariwisata. Di mana kawasan tersebut sangat mendukung keberlangsungan ekosistem dan merupakan sumber penghidupan dan kehidupan masyarakat sekitar. Pasir juga akan diambil dari bukit Parung dan Jonggol, yang artinya akan mengundulkan kawasan tersebut, yang pada akhirnya kembali menyebabkan banjir di Jakarta.

16 juta jiwa yang akan tinggal di wilayah hasil reklamasi tentu saja akan menghasilkan limbah padat (sampah domestik) yang luar biasa banyak. Padahal, saat ini, 12 juta jiwa penduduk Jakarta sudah memproduksi sampah rata-rata 2,92 liter/perhari, maka total produksi mendapai 25.824 m3 per hari. Sedangkan sampah yang bisa terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) rata-rata 84,68 % atau 21.876 m3 per hari. Sisanya tidak terangkut dan tercecer di selokan, jalan-jalan, termasuk tercecer di bantaran 13 sungai di Jakarta dan yang masuk ke sungai-sungai tersebut cukup tinggi akibat terseret air di saat musim hujan. Melonjaknya jumlah penduduk berimplikasi semakin menaikkan volume sampah secara signifikan. Sementara itu, hingga saat ini, belum ditemukan cara yang efektif sebagai sistem pengelolaan limbah.

(http://www.mail-archive.com/dharmajala@yahoogroups.com/msg06408.html)

Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan enam pengembang Reklamasi Teluk Jakarta baru-baru ini, menunjukan proyek tersebut memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Namun, hingga kini pemerintah belum juga melakukan eksekusi penghentian proyek reklamasi tersebut. Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mendukung reklamasi, bertentangan dengan pemerintah pusat yang merencanakan peningkatan kualitas lingkungan hidup di kawasan tersebut.

Adalah sebuah bukti nyata dimana sebuah keuntungan finansial dapat menimbun hati nurani seorang pemimpin yang melupakan janji janjinya saat berkampanye dulu. Ah saya enggan berbicara politik karena ketidak minatan saya akannya.

Pemerintah pusat menilai proyek reklamasi dan revitalisasi Teluk Jakarta berdampak buruk bagi lingkungan. Dalam Keputusan Menteri (Kepmen) KLH No.14 tahun 2003 dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) telah dinyatakan tidak layak. Putusan MA yang menolak gugatan kasasi enam pihak pengembang reklamasi atas Kepmen tersebut.

Seperti seorang anak kecil yang nakal, dan melawan orangtuanya, Pemerintah daerah terkait tetap bersikeras melanjutkan reklamasi itu. Pertanyaannya. Dimanakah kepedulian kita? Pertanyaan retoris yang tak memerlukan jawaban, namun tindakan nyata. .

Tidak...

Ini adalah tentang sebuah kenyataan... Saat bermain main dengan gudang, saya melihat sesuatu teronggok dengan manis diujung sana.. Carrier biru pemberian seseorang bermata biru. Terpojok dipojok, seolah ingin tersenyum dan mengajak saya bertualang. Sahanat saya yang terlupakan yang terakhir bersoulmate dengan saya sekitar empat tahun lalu...
Gunung Dempo, Mahameru, dan beberapa tempat lainnya kita bersama. Ah, saya sudah memnjatuhkan talak dengannya tiga tahun lalu. Bukan karena saya selingkuh ataupun saya mendapat penggantinya yang lebih baik. Namun karena saya memutuskan untuk menyudahi aktifitas saya yang satu ini.

Namun, memandangnya membuat keinginan bersamanya kembali muncul. Ditambah ajakan dari teman untuk menjelajahi Puntjak Tertinggi Jawa. Saya goyah. Ingin kembali melakukannya. Bertafakur mengagumi Ciptaan-Nya dengan cara saya. Akhirnya saya mencoba kembali berdamai dengan hati dengan meninggalkan logika, bahwa saya sangat sibuk dengan setumpuk pekerjaan saya. ya. Ah, menyisihkan waktu dua minggu tidak terlalu sulit. Pikir saya.

Dan akhirnya, keinginan itu saya coba realisasikan. Tahap pertama, adalah -seusai janji saya setelah bercinta dengan Dempo, empat tahun lalu, bahwa saya tidak akan naik tanpa izin orangtua- meminta izin orangtua. yap, selama ini saya melakukan kegiatan ini tanpa izin dan bahkan tanpa sepengetahuan orangtua.

Jawaban ibu saya setelah saya meminta izin adalah : Tidak. Dengan alasan yang sangat masuk diakal.. dan setelah saya pertimbangkan, akhirnya saya memutuskan untuk melupakan keinginan saya itu. Mungkin, selama ini saya bukanlah seorang anak yang patuh pada orangtua, namun, kali ini saya menurut. Karena kini, jiwa saya hanya tersisa setengahnya, setelah kepergian ayah. Dan saat orangtua saya yang tersisa, mengatakan tidak, maka itulah yang menjadi keputusan saya. Maaf jika mengecewakan, bukan kalian, tetapi hati ini.

Rabu, 17 Februari 2010

Hujan Mengingatkan Saya....


 

Hujan mengajarkan saya tentang rasa syukur. Hujan adalah rangkaian eksotisme langit untuk buminya, untuk alam semesta. Tetesan air yang menyejukkan, membawa  khidmat yang tanpa celah mengalir ke setiap sudut bumi yang memandang langsung langitnya. Membawa tetesan air yang bermuara di aliran yang nantinya akan kembali. Sebuah siklus yang terlalu rumit untuk dipahami oleh logika insani.

Jakarta. Hujan setiap tahunnya terkadang menimbulkan kecemasan yang bermuara pada ketakutan dan kelelahan jiwa jiwa yang mendiaminya. Sudut sudut kota, ataupun pusat peradaban. Jalan jalan beraspal lorong lorong yang sempit, tepian sungai, pertokoan, kantor kantor, perumahan. Terbasahi olehnya.

Dan saya menikmati hujan kala itu. Bermain dengan rinai rintiknya yang mengalir dengan kemiringan relatif, bersinergi dengan angin berkecepatan rendah. Membasahii muka bum dan seisinya. Termasuk saya di dalamnya. Saat banyak manusia menghindarinya, aku berdiam diri. Mematung merasakan alirannnya membasahi seluruh bagian tubuhku. Memejamkan mata meresapi dinginnya karunia Tuhanku ini. Terasa sejuk dan menentramkan jiwa.

Saat saya kembali membuka mata, jalan jalan itu temapak penuh dengan rumput rumput kristal yang indah. Hilang, dan kemudian muncul lagi. Hilang, muncul lagi. Begitu seterusnya. Sebuah siklus yang sangat cepat.

Bau aspal yang basah. Ini aneh, saya selalu tertarik akannya. Karena menurut saya, bau ini tercium oleh indera untuk kemudian mengalir ke dalam jiwa saya. Sejuk. Bau ini selalu mengingatkan saya akan sebuah masa kecil yang telah terlewati dengan baik. Saat bermain dalam hujan di lapangan semen dan tepi jalan. Saat beban beban yang menggunung ini tak pernah ada di masa itu hati yang terkadang tak tenang tak pernah terjadi kala itu. Masa masa yang penuh dengan kegembiraan.

Namun bayangan masa kecil itu sangat tampak nyata sekarang, saat melihat beberpaka sosok kecil itu bermain main dalam hujan. Menghampiriku seolah ingin menemaniku. Tapi… tidak, mereka tidak bermain. Mereka memang ingin menghampiri saya dan menemani saya. Tapi tidak untuk bermain. Sekali lagi saya jelaskan, tidak untuk bermain. Mereka berlarian membawa paying paying berbagai ukuran dan corak karena mengharapkan imbalan. Mereka mencoba membantu saya berlindung dari tetesan hujan ini. Mereka bekerja. Anak anak kecil itu bekerja.

Ah, saya miris. Mereka tak punya waktu untuk bermain, bahkan saat hujan menghampiri sekalipun. Saya kecil sungguh beruntung waktu itu. Bermain hujan, bersenandung bersenda gurau. Mereka seusia saya, belasan tahun lalu. Ah, saya miris.

Sejatinya mereka memang bermain dalam hujan. Namun sesungguhnya mereka lebih mulia dari aya. Mencari uang, untuk keluarganya. Mereka tidak mengemis, memohon belas kasihan seperti yang dilakukan orang orang sehat di sudut Jakarta yang lain. Mereka bekerja. Sesuatu yang tak bisa saya lakukan saat umur saya ekuivalen dengan mereka. Bahkan melintas dalam benakpun tidak.  

Seribu rupiah. Tarif tak resmi yang mereka terima dari orang orang yang menbggunakan jasa mereka. Beberapa konsumen memberi lebih.  Janganlah pernah memperhitungkan untung atau rugi saat memberikan uang kecil yang kita punya, karena bukan itu esensi sesungguhnya. Namun lebih kepada, dengan memberikan mereka uang yang terkadang terbuang oleh kita, maka kita bisa membuat satu generasi penerus bisa terus bersekolah, dan satu keluarga bisa bertahan hidup, terhindar dari kelaparan, salah satu ketakutan terbesar dalam hidup manusia.